Meneladani Akhlak Rasul Melalui Peringatan Maulid

Oleh: Zahra Fona

Dosen Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe

 

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW sudah menjadi rutinitas tahunan bagi ummat Islam di Indonesia. Cara pelaksanaannya pun beragam dan memiliki ciri khas tersendiri di berbagai daerah. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW selalu disertai dengan ceramah khas mubaligh terkenal di daerah.

Di satu sisi peringatan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan ajang penting dalam rangka menyegarkan, meningkatkan, dan memperbaharui tekad dan komitmen dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Rasulullah SAW. Namun di sisi lain terasa bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAW menjadi kehilangan makna, berjalan begitu datar, dan hanya sebagai rutinitas tahunan yang disertai ‘pesta’ makanan enak. Bahkan peringatan maulid tak jarang menjadi ajang ‘pamer’ kenduri.  Menjelang maulid, harga beberapa bahan makanan meningkat, terlebih harga ayam, bisa meningkat berkali lipat. Karena daging ayam seolah menjadi hidangan khas peringatan maulid.

Memang, hakikatnya kenduri itu disertai dengan mengundang makan anak yatim. Tetapi kenyataannya, hanya secuil dari makanan enak itu yang dinikmati anak yatim. Sisanya yang tentu sangat berlebih bisa menjadi makanan tuan rumah yang dimakan berulangkali. Atau kadang harus dibuang karena terlalu banyak. Nauzubillah!

Sejauh mana ummat Islam khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam memahami makna peringatan maulid saat ini? Sudahkah akhlah Rasulullah SAW terpatri dalam kehidupan masyarakat kita?

            Nabi Muhammad SAW dilahirkan ke muka bumi tepat pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Gajah dalam keadaan yatim, dari rahim seorang  wanita shalehah, Siti Aminah. Ayahnya, Abdullah telah terlebih dahulu meninggal dunia ketika usia kehamilan ibunya 6 bulan.  Dalam al-Quran Allah menyatakan bahwa tujuan diutus Nabi Muhammad adalah untuk memberi rahmat bagi seluruh alam, dan menyempurnakan akhlak manusia.

            Rahmat yang dimaksudkan mempunyai makna yaitu keuntungan, keberkahan, kebaikan, dan kesejahteraan dalam segala bidang kehidupan.  Dalam hal ini mencakup bidang yang sangat luas yaitu bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sebagainya.

            Sedangkan sebagai penyempurna akhlak manusia, Nabi Muhammad SAW bersabda “Innama bu’itstu liutammima makaarim al-akhlak” artinya: sesungguhnya aku diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Ketika para sahabat bertanya kepada Siti Aisyah, isteri Nabi, “Apakah akhlak Rasulullah SAW itu?” Siti Aisyah menjawab, “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran.”

            Akhlak Rasulullah SAW telah diakui oleh para peneliti sebagai akhlak yang paling unggul. Seorang pemikir Islam dari India, Al’u A’la al-Maududi melukiskan kepribadian Rasulullah: He is the only one personality that all excellences have been blended him. Ia (Muhammad)  adalah satu-satunya pribadi dengan seluruh keunggulan kualitas terdapat pada dirinya. Diantara keutamaan akhlak Rasul dapat dirangkum sebagai berikut:

            Pertama, sebagai kanak-kanak, Muhammad SAW telah menunjukkan dirinya sebagai anak yang baik dan rajin. Ia membantu pamannya menggembala kambing. Ia tidak pernah melakukan perbuatan buruk seperti yang dilakukan masyarakat Quraisy pada masa itu seperti berjudi, minum khamar, berfoya-foya, dan sebagainya.

            Lalu, tidakkah berfoya-foya dengan berlebihan dalam menyediakan hidangan maulid tidak berarti berseberangan dengan akhlak Rasulullah? Apalagi yang notabene dimakan oleh anak yatim hanya secuil itu? Tidakkah sebaiknya menyedekahkan kelebihan rezeki untuk anak yatim dan fakir miskin lebih baik?

            Kedua, sebagai suami, Muhammad dikenal sebagai suami yang sangat menyayangi isterinya. Rasa sayang yang langsung ditunjukkan melalui sikap dan tingkah laku, bukan hanya dalam hati. Terbukti oleh panggilan mesranya kepada isterinya Siti Aisyah, ‘ya Humaira’ yang artinya wahai bunga mawar yang sedang mekar (kemerah-merahan).

Rasulullah sangat memuliakan wanita. Adalah salah besar mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw merendahkan wanita dengan memiliki isteri yang banyak. Justeru diantara isteri-isteri Rasul SAW, hanya Aisyah yang dinikahinya ketika masih gadis, setelah meninggalnya isteri pertamanya Siti Khadijah dan menduda cukup lama. Sedangkan isteri-isterinya yang dinikahi setelah itu adalah janda-janda perang. Suami-suami mereka gugur di medang perang. Ada juga wanita yang dinikahinya adalah wanita berusia lanjut, dengan niat melindungi dan memberikan bantuan. Jadi, salah besar pendapat penulis Barat yang mengatakan bahwa poligaminya Rasulullah sebagai ‘sex oriented’.

Rasulullah SAW mengibaratkan wanita yang telah mempunyai anak sebagai madrasah. Karena sang ibulah yang mendidik anak dari sejak dalam kandungan sampai ia dilahirkan. Jika si Ibu dibina dengan baik, maka ia akan melahirkan anak-anak yang baik pula. Rasul juga mengatakan ‘aljannatu tahta aqdam al-ummahat’, surga berada di bawah telapak kaki ibu. Mendurhakai ibu adalah dosa besar, tempatnya neraka. Sehingga dengan peran luar biasa itu, Rasul mengatakan ‘al-Mar’atu Imad al-bilad’,  wanita adalah tiang negara. Memberikan perhatian dan perlakuan yang baik terhadap kaum wanita adalah investasi bagi masa depan generasi muda, karena ibulah yang mencetak generasi muda ke arah yang dikehendakinya.

Merebaknya isu gender tak lain adalah refleksi ketidaktahuan para pengusungnya akan keistimewaan perhatian Islam terhadap wanita. Lalu sikap para wanita sendiri dalam menilai dan menghargai diri sendiri juga sangat signifikan dengan perlakuan yang akan mereka terima. Di sisi lain, perlakuan kurang baik para suami terhadap isteri-isterinya merupakan problema sosial yang sangat urgen dan memerlukan perhatian khusus.

Sudahkah para suami memuliakan isteri-isterinya? Menjadikannya ‘humaira’?

Ketiga, Muhammad sebagai ayah dan kakek. Ia dikenal sangat dekat dengan anak-anak dan cucunya, juga dengan anak-anak kecil lainnya. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa, suatu ketika Rasulullah SAW sedang sujud dalam salatnya, cucunya, Hasan masuk ke kamar dan naik ke punggungnya. Hasan masih kecil dan belum tahu bahwa Rasulullah SAW sedang salat. Beliau tetap sujud dan membiarkan cucunya sampai agak lama sampai ia turun dari punggungnya. Kejadian itu dilihat oleh sahabat Rasulullah SAW dan ia bertanya, “ya Rasulullah, aku melihat engkau sujud begitu lama, apakah engkau mengqadha salat?” Rasulullah menjawab, “cucuku sedang bersantai di atas punggungku maka aku enggan mengganggunya”.

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW sambil membawa bayi. Beliau ingin menggendong bayi itu, awalnya si wanita enggan memberikannya karena takut akan mengotori Rasulullah atau mengencinginya. Namun beliau tetap ingin menggendong sang bayi. Ternyata benar, bayi itu kencing di pangkuannya. Rasulullah SAW sama sekali tidak marah, beliau berkata, “wahai saudaraku, luka hati sang bayi jauh lebih sulit dihilangkan dibandingkan dengan air kencingnya yang membasahi pakaian.”

Andai kedua kejadian itu terjadi pada kita, apa yang akan kita lakukan? Memarahi atau mencubit sang cucu yang menaiki punggung kita sehingga mengurangi kekhusukan salat kita? Mengumpati sang bayi yang membuat kita harus menyucikan diri lagi, dan dengan muka merah padam menyerahkan kembali bayi itu pada ibunya? Nauzubillah, semoga Allah menjauhkan yang demikian dari diri kita.

Teladan yang diberikan Rasulullah tidaklah muluk-muluk. Kesehariannya mudah dicontoh. Bohong besar bila akhlak Rasulullah terlalu mulia untuk ditiru. Pertanyaan yang harus kita jawab dalam hati masing-masing adalah: “Maukah kita mencontoh akhlak beliau?” bukan  “Mampukah kita meniru akhlak beliau?”

Bila memperhatikan hal-hal kecil dan mulai memperbaiki sedini mungkin, dimulai dari lingkungan terkecil: diri kita sendiri dan keluarga, Insya Allah kesempurnaan akhlak yang diusung Rasulullah berabad silam akan nyata adanya. Kenduri maulid tidak akan ‘lagi’ menjadi ajang pesta makanan mewah yang kadang-kadang hanya secuil dicicipi oleh anak yatim dan fakir miskin. Sementara selebihnya  dimakan atau disediakan untuk mengenyangkan orang-orang terhormat di mata masyarakat.

Leave a comment